PDIP Masuk Kabinet Prabowo – Gibran
NationalNews, PDIP – Presiden terpilih Prabowo Subianto akan berjumpa dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Kabar ini hampir dipastikan kebenarannya, dikarenakan elite kedua pihak sudah mengonfirmasi. Namun, kapan waktunya, belum ada yang mampu menyebut terkecuali Prabowo dan Megawati.
Pertemuan kedua tokoh nasional itu dinilai akan mengulas sejumlah hal penting, tidak benar satunya berkenaan peluang PDIP bergabung didalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Kemungkinan ini pun tidak dipungkiri.
Sejumlah elite PDIP sudah memberikan sinyal akan berkoalisi dengan Prabowo-Gibran. Apalagi, kubu Prabowo terhitung sudah terang-terangan mengajak PDIP untuk bergabung.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani berharap PDIP mampu menopang pemerintahan yang akan dipimpin Prabowo Subianto pada periode 2024-2029. Hal ini perlu sehingga pemerintahan mampu berlangsung secara efektif.
“Kita menginginkan sehingga pemerintahan Pak Prabowo-Gibran lebih efisien dan situasi lebih kondusif, kerukunan, persahabatan mampu tercipta. Karena itu, kekuatan parpol sebanyak-banyaknya mungkin akan kita rangkul dan dekati untuk menciptakan situasi politik yang lebih kondusif dan baik,” kata Muzani kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.
Menurut Muzani, bergabungnya partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu, dikehendaki mampu menciptakan ketenangan di sedang masyarakat, dengan begitu pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu lebih baik.
“Supaya pemerintahannya lebih tenang, rakyatnya mampu lebih tenang. Sehingga, ada pertumbuhan ekonomi lebih baik, ada pergerakan masyarakat yang lebih baik, lebih optimis dan lebih percaya menatap masa depan,” ujar Muzani.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani pun membuktikan tidak menutup mungkin partainya bergabung di kabinet Prabowo-Gibran. “Semuanya tidak ada yang tidak mungkin. Mungkin saja (berkoalisi),” ujar Puan di Hotel Shangri La, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 September 2024.
Meski begitu, Puan menyadari, koalisi atau tidaknya PDIP ke pemerintahan ke depan tergantung pada ketentuan hasil pertemuan antara Prabowo dan Megawati. “(Keputusan gabung kabinet) nanti baru diketahui setelah pertemuan,” ucap Puan.
Pertemuan Megawati dengan Prabowo sendiri belum diketahui pasti kapan digelar. Namun, Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyatakan, sebagai gambaran, pertemuan ketua umum partai politik itu akan dilaksanakan sebelum akan pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024.
“Pertemuan Ibu Ketua Umum dengan Bapak Prabowo, Presiden terpilih, ini semata-mata tunggu momentum hari-hari. Karena pelantikan tanggal 20 Oktober sudah di depan mata kita bersama,” kata Said kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.
“Kita semua bersiap-siap untuk menyongsong Presiden terpilih dilantik tanggal 20 Oktober. Dan insyaallah, sebelum akan pelantikan, Ibu Megawati akan berjumpa dengan Bapak Prabowo,” sambungnya.
PDIP Berkoalisi atau Oposisi?
Bertemunya Megawati dengan Prabowo, kemudian menghidupkan pertanyaan. Apakah PDIP akan berkoalisi atau menjadi oposisi? Hal ini wajar. Sebab, semua partai politik yang ada di parlemen, sudah masuk ke gerbong Prabowo. Tinggal PDIP yang sampai pas ini belum memutuskan sikap politik untuk lima th. ke depan.
Pengamat politik berasal dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, meyakini partai banteng moncong putih akan masuk ke didalam barisan kekuasaan di pemerintahan Prabowo-Gibran. Ujang menyaksikan banyak indikasi menguatkan prediksinya itu.
“Saya sih lihatnya iya, mereka masuk koalisi Prabowo-Gibran. Indikasinya, misalkan Undang-Undang MD3 kan enggak ada. Kalau Undang-Undang MD3-nya jalan, kan PDIP tidak nyaman, mampu disita ketua DPR-nya oleh KIM. Tapi kan tidak. KIM membiarkan, koalisi Prabowo-Gibran membiarkan Puan menjadi ketua DPR lagi. Aman, tidak ada revisi UU MD3-nya,” ujar Ujang kepada Liputan6.com, Senin, 23 September 2024.
Indikasi lainnya yakni soal anggaran menambahkan nomenklatur kementerian didalam Undang-Undang Kementerian Negara yang jumlah kementeriannya ditambah. Dalam hal ini, kata Ujang, Ketua Badan Anggaran berasal dari PDIP Said Abdullah menyatakan tidak mempermasalahkan besaran anggarannya.
“Maka itu, kan PDIP menerima banyak hal, dan diuntungkan juga. Oleh dikarenakan itu saya menyaksikan berasal dari indikasi-indikasi itu, mampu saja PDIP masuk pemerintahan Prabowo. Di awal, atau nanti di sedang jalan. Kita tunggu saja. Tapi soal bagian PDIP masuk kabinet, saya sih melihatnya 80 persen mampu saja terjadi,” tuturnya.
Senada, M. Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, menyaksikan peluang PDIP merapat ke pemerintahan Prabowo-Gibran terbuka lebar.
“Sebab, didalam politik peluang itu selamanya terbuka seandainya ada kepentingan yang mirip di antara kedua belah pihak,” ujar Jamil kepada Liputan6.com, Senin, 23 September 2024
Sementara itu, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, menilai ada beberapa aspek yang mengakibatkan PDIP susah bergabung ke didalam kabinet Prabowo-Gibran.
“Pertama, aspek sejarah. Orde lama versus orde baru. Soekarno versus Soeharto. Dan kita tahu, ada Titiek Soeharto dengan Prabowo,” ungkap R Haidar Alwi.
Haidar meyakini, orde baru merupakan memori kelam yang benar-benar membekas didalam ingatan Megawati Soekarnoputri. Baik pada masa awalannya dikala Soeharto tempati tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno, maupun pada pada akhirnya pas Megawati berperan didalam reformasi tumbangnya orde baru.
Jokowi dan Gibran Jadi Ganjalan
Tak hanya itu, aspek Jokowi dan Gibran terhitung menjadi batu ganjalan bagi Megawati dan PDIP untuk berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo.
Menurut Haidar, bagi PDIP, Jokowi dan Gibran merupakan pengkhianat. Pengkhianatan Jokowi dan keluarganya kepada PDIP puncaknya berlangsung pas Pemilu 2024 yakni dikala Gibran mencalonkan diri menjadi cawapres untuk mendampingi Prabowo.
Otomatis, Jokowi dan keluarganya menopang Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sementara, PDIP dikala itu mengusung calon sendiri yakni Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Hingga akhirnya, Jokowi dan keluarganya dikeluarkan sebagai kader PDIP.
“Bagi Megawati dan PDIP, semua itu mungkin berbau pengkhianatan,” ujar Haidar.
Senada, Jamiluddin menilai, meski terbuka bagi PDIP untuk berkoalisi dengan Prabowo, tetapi peluang itu mampu menjadi kecil dikarenakan ada aspek Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka.
“Peluang itu tampaknya relatif kecil selama tetap ada Gibran dan Jokowi di kubu Prabowo. Sebab, kasus PDIP bukan kepada Prabowo, tetapi kepada Gibran dan Jokowi. Megawati tampaknya tidak akan sudi dengan dengan Prabowo selama ada Jokowi dan Gibran, yang dinilainya pengkhianat,” kata Jamil.
Hal itu, menurut Jamil, benar-benar prinsip bagi Megawati, yang dikenal begitu mengedepankan ideologi didalam berpartai ketimbang pragmatisme. “Namun mungkin itu mampu saja berlangsung sebaliknya seandainya Megawati berubah menjadi sosok pragmatis,” kata Jamil.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai soal mungkin PDIP berkoalisi dengan Prabowo, syaratnya ada dua. Pertama, perlu dipastikan dulu, apakah benar Prabowo mengajak PDIP untuk menjadi bagian kekuasaan politik pemerintah ke depan. Kedua, terkecuali itu ada, apakah PDIP sudi atau tidak bergabung dengan koalisi Prabowo.
“Dua hal itu perlu dipastikan. Jangan sampai yang nampak itu tidak terkonfirmasi. Jangan-jangan misalnya, Prabowo mengajak PDIP masuk, tetapi PDIP tetap belum tertarik bergabung dikarenakan aspek misalnya, Jokowi tetap benar-benar dekat dengan Prabowo. Atau dikarenakan aspek Gibran yang pas ini dicermati sebagai replika politknya Jokowi,” ujar Adi kepada Liputan6.com, Senin, 23 September 2024.
Adi melihat, sampai pas ini, tetap ada jarak psikologis yang menjadi tembok besar bagi PDIP untuk bergabung dengan Prabowo. Faktor Jokowi dan Gibran yang benar-benar kental.
“Kalau dengan Prabowo sih sepertinya enggak ada soal. Karena di situ tetap ada aspek Jokowi, terhitung ada Gibran yang sepertinya tetap mencegah PDIP yang kemudian tidak serta merta tertarik bergabung dengan Prabowo,” kata Adi.
Presiden Jokowi sendiri sudah menyampaikan tanggapannya berkenaan mungkin PDIP bergabung ke kabinet Prabowo-Gibran. Jokowi menyatakan komposisi menteri kabinet pemerintahan sesudah itu merupakan hak prerogatif Prabowo sebagai presiden.
“Ditanyakan kepada Presiden terpilih, kewenangan itu hak prerogatif presiden,” kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu, 21 September 2024.
Jokowi tidak mempersoalkan seandainya nantinya kabinet Prabowo Subianto gemuk dikarenakan mempunyai banyak menteri. “Itu hak prerogatif presiden terpilih,” ucap Jokowi.
Negara Demokrasi Tanpa Oposisi
Semua partai politik sudah bergabung ke didalam koalisi kekuasaan. Tinggal PDI Perjuangan yang belum masuk ke koalisi Prabowo-Gibran. Itu pun tergantung pertemuan Prabowo dengan Megawati, yang dinilai banyak pihak akan mengulas mengenai koalisi untuk lima th. ke depan.
Jika PDIP tertarik untuk diajak bergabung ke didalam kekuasaan pemerintah, maka dipastikan tidak ada oposisi. Fungsi DPR sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah tidak berjalan. Demokrasi di negara ini pun tidak sehat.
“Bisa dipastikan, kabar oposisi di DPR, Senayan, wasalam. Karena tak ada partai yang berada di luar kekuasaan. Bahwa DPR itu selayaknya check and balance, ya, tidak mampu dibantah. Tapi di negara ini terkecuali sudah berkoalisi dengan pemerintah, berkoalisi dengan pemenang, fungsi check and balance di DPR itu tidak berfungsi, tidak berguna,” kata pengamat politik Adi Prayitno.
Sehingga, apa pun product kebijakan berasal dari pemerintah, tidak akan mendapat halangan di DPR. “Karena mustahil di parlemen akan berlangsung protes atau penolakan berkenaan dengan kebijakan pemerintah, pas partainya bergabung dengan pemerintah,” Adi menambahkan.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, terkecuali PDIP bergabung dengan Prabowo-Gibran, maka rakyat tidak mampu lagi berharap pada DPR.
“Tentu ini menjadi evaluasi kita semua bahwa partai-partai itu seluruhnya menginginkan masuk pemerintahan, seluruhnya menginginkan berkuasa, seluruhnya menginginkan jabatan, seluruhnya happy. Elite-elite itu seluruhnya happy, rakyat ditinggalkan,” kata Ujang.
Jika sudah tidak ada lagi partai di luar kekuasaan, maka yang sangat mungkin adalah rakyat sendiri yang berperan sebagai oposisi. Namun, check and balance-nya dilaksanakan di luar parlemen.
“Mungkin nanti yang beroposisi ini adalah akademisi, para pengamat, mahasiswa, rakyat. Oposisinya oposisi nonparlemen, di luar parlemen. Jadi oposisi tidak dilaksanakan oleh partai politik, tetapi oleh rakyat. Kelihatannya seperti itu dikala di parlemennya tidak ada oposisi,” tuturnya.
“PDIP yang selayaknya bersikap sebagai oposisi, ternyata terbujuk terhitung masuk ke pemerintahan. Rakyat akan menilai bahwa tidak ada yang berani menjadi oposisi. Padahal PDIP didalam sejarahnya mempunyai keberanian untuk menjadi oposisi, tetapi di pemerintahan ke depan berkoalisi,” Ujang menambahkan.
Jamiluddin Ritonga menilai terkecuali PDIP berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo, akan berlangsung kemunduran demokrasi. Sebab, tidak ada satu pun partai parlemen yang menjadi oposisi, untuk menjalankan fungsi check and balance.
“Tentu hal ini menjadi tragedi nasional. Disebut tragedi, dikarenakan benar-benar ironi di negara demokrasi tidak ada oposisi. Karena itu, akan berlangsung bencana demokrasi di Tanah Air. Sebab, tanpa oposisi, Indonesia akan kehilangan esensi demokrasi. Indonesia hanya berlabel demokrasi, tetapi praktiknya sudah menjadi negara otoriter,” kata Jamil.