MK Pertegas Kritik Adalah Bentuk Koreksi

MK Pertegas Kritik Adalah Bentuk Koreksi

MK
MK Pertegas Kritik Adalah Bentuk Koreksi

NationalNews – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan lebih dari satu gugatan uji materiil Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 perihal Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan pada dasarnya kritik didalam kaitan bersama Pasal 27A UU 1/2024 selanjutnya merupakan wujud pengawasan, koreksi, dan petunjuk pada hal-hal yang terkait bersama kepentingan masyarakat.

“Sehingga untuk menerapkan Pasal 27A UU 1/2024 harus mengacu pada ketetapan Pasal 310 ayat (1) KUHP yang mengatur perihal pencemaran pada seseorang atau individu. Dengan kata lain, pasal selanjutnya cuma dapat dikenakan pada pencemaran yang dimaksudkan kepada orang perseorangan,” kata Hakim Arief didalam pertimbangan hukumnya didalam sidang Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/4/2025)

Hakim Arief menjelaskan, antara Pasal 27A UU 1/2024 bersama Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024 yang terkait bersama pelanggaran pada ketetapan larangan didalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana aduan atau delik aduan yang cuma dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya.

“Dalam hal ini, walau badan hukum jadi korban pencemaran maka ia tidak dapat jadi pihak pengadu atau pelapor yang dijalankan lewat media elektronik. Sebab cuma korban (individu) yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum terkait perbuatan pidana pada dirinya dan bukan perwakilannya,” tegas Hakim Arief.

Hakim Arief beralasan, hal itu dijalankan sehingga tidak berjalan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum didalam menerapkan frasa “orang lain” pada Pasal 27A UU 1/2024. MK menegaskan yang dimaksud frasa “orang lain” adalah individu atau perseorangan.

“Oleh karenanya, hal itu dikecualikan berasal dari ketetapan Pasal 27A UU 1/2024 kalau yang jadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan instansi pemerintah, sekelompok orang bersama identitas yang khusus atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” paham Hakim Arief.

“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur didalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka pada Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa “orang lain” tidak dimaknai kalau instansi pemerintah, sekelompok orang bersama identitas khusus atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” ungkap Hakim Arief.

Menimbulkan Multi-Tafsir

Selain itu, MK juga menambahkan penjelasan terkait bersama frasa “suatu hal” didalam norma Pasal 27A UU 1/2024 yang dinilai Pemohon mengundang ketidakjelasan atau multitafsir didalam penegakannya. Menurut Mahkamah, frasa “suatu hal” terkait bersama langkah menuduhkan suatu hal bersama maksud sehingga hal selanjutnya diketahui umum.

“Norma selanjutnya mengatur perihal larangan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik “orang lain” bersama “menuduhkan suatu hal” lewat sistem elektronik,” tutur Hakim Arief.

Namun pada Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 frasa “suatu hal” selanjutnya tidak disertai bersama penjelasan lebih lanjut, sehingga berpotensi mengundang multitafsir jika tidak diberikan batasan normatif yang tegas.

“Apabila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hal” miliki makna yang terlampau umum dan beragam, terasa berasal dari peristiwa, keadaan, urusan, masalah, sampai perihal atau mengenai. Oleh maka dari itu pemanfaatan frasa “suatu hal” didalam konteks delik pencemaran nama baik dapat mengundang kerancuan antara perbuatan pencemaran nama baik dan penghinaan biasa,” paham Hakim Arief.

“Apabila frasa selanjutnya ditafsirkan terlampau luas, maka bakal berjalan penggabungan yang tidak seimbang antara dua wujud perbuatan yang berbeda, yang pada kelanjutannya menciptakan ketidakpastian hukum,” sambungnya.

Jamin Kepastian Hukum yang Adil

Untuk menghambat perluasan tafsir dan menjamin kepastian hukum yang adil, serta menghambat penyalahgunaan hukum pidana sebagai instrumen pembungkaman kebebasan berekspresi, Mahkamah memutuskan frasa “orang lain” didalam norma Pasal 27A dan Pasal 45 UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan bersama UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali instansi pemerintah, sekelompok orang bersama identitas khusus atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan”.

“Sementara itu, frasa “suatu hal” didalam norma Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 harus pula dinyatakan bertentangan bersama UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”, ungkap Hakim Arief.

Sebagai informasi, beleid selanjutnya digugat oleh warga Karimunjawa Kabupaten Jepara, Daniel Frits Maurits Tangkilisan.

By viva88

Related Post

Leave a Reply

NationalNews