Usulan Polisi Tak Pakai Senjata Api
NationalNews – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal membicarakan usulan polisi tidak ulang mempunyai senjata api seperti negara-negara maju. Hal ini buntut masalah penyalahgunaan senjata api oleh polisi yang tembak siswa SMKN 4 Semarang hingga tewas. Serta masalah polisi tembak polisi di Polres Solok Selatan.
Pengamat Kepolisian berasal dari Institute for Security plus Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan meskipun usulan ini memiliki tekad baik, kebijakan berikut tidak bisa diterapkan semuanya di Indonesia.
“Usulan itu bagus, tapi tidak bisa diterapkan semuanya karena tersedia sebagian fungsi kepolisian yang memiliki ancaman risiko yang tinggi,” ujar Bambang kepada Liputan6.com, Jumat, (6/12/2024).
“Makanya sebagian fungsi itu mesti selamanya mengfungsikan senjata api berpeluru tajam. Senjata api itu terhadap dasarnya mesti melekat terhadap tugas, bukan terhadap personal,” tambahnya.
Menurut Bambang, tidak seluruh bagian polisi mesti mempunyai senjata api. Fungsi-fungsi yang lebih fokus terhadap usaha preventif atau pre-emptive, seperti unit SDM, Pembinaan Masyarakat (Binmas), atau sebagian Satlantas, misalnya, tidak perlu senjata api berpeluru tajam.
“Untuk yang level-level ancaman berisiko menengah atau sedang, cukup (menggunakan) senjata api berpeluru karet,” sambungnya.
Meskipun demikian, Bambang menilai penggunaan pentungan oleh satuan pengamanan seperti Satuan Bhayangkara (Sabhara) dalam memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) masih bisa diterima.
“Itu bolehlah cukup mengfungsikan pentungan saja,” kata Bambang.
Kontrol yang Lemah
Namun, ia juga mengutamakan bahwa masalah utama yang berjalan dalam kepolisian sementara ini adalah lemahnya pengecekan dan pengawasan penggunaan senjata api.
“Selama ini aku menyaksikan pengecekan dan pengawasan berkenaan penggunaan senjata api di kepolisian ini masih benar-benar lemah. Maka alih-alih daripada mengatur berkenaan larangan penggunaan senjata api seperti yang disampaikan DPR, lebih baik juga mesti tersedia evaluasi,” tegasnya.
Dalam konteks urgensi wacana ini, Bambang mengatakan bahwa penyalahgunaan senjata api oleh oknum polisi lebih berkenaan bersama dengan masalah individu dan proses pengawasan yang tidak berjalan optimal.
“Peraturan-peraturan berkenaan SOP penggunaan senjata api itu di kepolisian udah benar-benar banyak. Yang berjalan sementara ini kan bukan merata, tapi hanya sporadis yang dikerjakan oleh oknum per oknum,” jelasnya.
Menurut Bambang, DPR tidak cukup hanya membicarakan larangan senjata api, melainkan mesti mengatasi akar masalah berkenaan proses pengecekan dan pengawasan yang masih lemah.
Terkait bersama dengan efektivitas kinerja polisi jikalau hanya dibekali pentungan, Bambang mengingatkan bahwa risiko tinggi dalam tugas kepolisian tidak bisa diabaikan.
“Kalau hanya mengfungsikan pentungan, tetap mereka yang bertugas bersama dengan potensi risiko yang tinggi bagaimana? apakah mereka berani untuk menindak pelaku kriminal dan lain-lain hanya dibutuhkan pentungan? itu kan mesti dipikirkan oleh DPR,” ungkap Bambang.
Sebagai perbandingan, sebagian negara luar sebetulnya hanya membekali polisi bersama dengan pentungan dalam tugas mereka, tapi Bambang menilai perihal ini hanya berlaku untuk fungsi-fungsi yang tidak hadapi risiko tinggi.
“Satpam saja juga mempunyai pentungan. Kalau memelihara KAMTIBMAS untuk membubarkan massa, kan tidak mesti senjata api berpeluru tajam,” katanya.
Bambang juga mengingatkan tentang pentingnya kedisiplinan dalam pelaksanaan SOP penggunaan senjata api. Ia mencontohkan masalah Ferdi Sambo sebagai keliru satu umpama betapa kurangnya pengawasan terhadap tindakan pelanggaran yang dikerjakan oleh bagian kepolisian.
“Seharusnya tidak boleh diperkenankan masuk menjadi bagian kepolisian. Tapi faktanya kan selamanya diberi kesempatan masuk kepolisian,” ujar Bambang.
Sementara Polri sendiri memiliki keputusan tentang penggunaan senjata api yang udah jelas. Namun menurut Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Inspektur Jenderal Abdul Karim, sebetulnya masih mesti tersedia optimalisasi penerapannya di lapangan.
“Aturan yang mengatur penggunaan dan pengelolaan senpi udah jelas dan tepat, tinggal optimalisasi saja. Semua mekanismenya dikerjakan oleh kapolda masing-masing,” kata Abdul Karim kepada Liputan6.com.
Sebagai informasi, penggunaan senjata api terhadap polisi udah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada Pasal 47 ayat (1) dijelaskan bahwa “Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan andaikata benar-benar diperuntukkan untuk memelihara nyawa manusia”.
Kemudian dijelaskan ulang terhadap ayat (2) bahwa senjata api hanya boleh digunakan untuk:
-Dalam perihal hadapi situasi luar biasa;
-Membela diri berasal dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
-Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
-Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
-Menahan, menahan atau menghentikan seseorang yang sedang atau bakal melakukan tindakan yang benar-benar membahayakan jiwa; dan
-Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana beberapa langkah yang lebih lunak tidak cukup.
-Kemudian terhadap Pasal 48 ditekankan bahwa:
“Setiap petugas polisi dalam melakukan tugasnya bersama dengan mengfungsikan senjata api mesti memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut:”
a. Petugas jelas prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas.
b. Sebelum mengfungsikan senjata api, petugas mesti memberikan peringatan yang jelas bersama dengan cara:
Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau bagian Polri yang sedang bertugas;
-Memberi peringatan bersama dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau tempatkan senjatanya; dan
-Memberi sementara yang cukup sehingga peringatan dipatuhi.
c. Dalam situasi yang benar-benar mendesak dimana penundaan sementara diperkirakan bisa menyebabkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud terhadap huruf b tidak mesti dilakukan.
Buah Simalakama Pelemahan Senjata Polri
Direktur Eksekutif Indonesia Police Investigation & Control (IPIC), Rangga Afianto mengatakan konteks permasalahannya sebetulnya bukan terhadap senjatanya, tapi terhadap layak atau tidaknya personel yang dibekali senjata api.
Menurutnya, dinamika kejahatan bersama dengan kekerasan yang cukup kompleks di Indonesia bersama dengan persebaran senjata api ilegal yang cukup marak menyebabkan ancaman kepada aparat penegak hukum menjadi suatu perihal yang tidak boleh diakui sepele.
“Sehingga disaat aparat senjatanya diganti bersama dengan pentungan atau senjata yang lebih lemah daripada senjata api maka tentu ini bakal tidak berimbang dan menyebabkan kejahatan makin lama susah diatasi,” kata Rangga kepada Liputan6.com.
Rangga mengatakan, jikalau penggunaan kebolehan senjata api di Indonesia dikomparasi bersama dengan negara maju terutama yang berada di Eropa maka mesti diukur berasal dari seberapa besar persebaran senjata api ilegal dan rakitan yang tersedia di masyarakat.
Ia menilai masalah senjata api ilegal terutama rakitan di Indonesia memiliki perkembangan yang jauh lebih tinggi dibandingkan bersama dengan negara-negara di Eropa, sehingga dalam konteks predictive policing tentu aparat Kepolisian di Indonesia tidak cukup kebolehan jikalau hanya dibekali bersama dengan pentungan.
“Jangan hingga alih-alih senang menciptakan polisi yang lebih humanis tapi hasilnya malah menjadi buah simalakama bersama dengan pelemahan terhadap kebolehan untuk mengatasi kejahatan itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, masalah penggunaan senjata api yang harusnya dikaji ulang adalah berkenaan SOP pembekalan senpi kepada bagian polisi. SOP ini terdiri berasal dari 3 perihal utama yaitu standard pengajuan, standard perlindungan izin, dan standard pengawasan serta perpanjangan izinnya.
Ketiganya perlu menjadi domain berasal dari SDM Polri terutama Biro Psikologi untuk bisa mengawal bersama dengan ketat segi layak atau tidaknya para angota yang dibekali senjata api. Instrumen test psikologi yang digunakan mesti pas cocok bersama dengan peruntukkannya, dibedakan antara test psikologi untuk pengajuan senjata dan test psikologi untuk pembinaan karir.
“SDM Polri mesti menggandeng ahli-ahli atau instansi psikologi sehingga substansi segi psikologi ini benar-benar bisa menjadi alat pengecekan bagi pembekalan senjata api untuk para anggota. Intinya test psikologi serta pengawasan yang dikerjakan jangan hanya tradisi belaka,” kata dia.
Sementara Indonesian Police Watch (IPW) menilai usulan ini benar-benar terburu-buru. Menurutnya, polisi masih perlu dibekali senjata api karena tingkat kejahatan yang benar-benar tinggi sementara ini.
“Karena penggunaan senjata itu tentunya adalah untuk memelihara masyarakat berasal dari ancaman kekerasan yang membahayakan nyawa masyarakat itu sendiri dan petugas polisi,” ucap Sugeng di Jakarta, Kamis, (5/12/2024).
Sugeng lebih menyoroti tentang keputusan penggunaan senjata api dimana secara umum hanya mengatakan syarat daripada penggunaan senjata api.
“Syarat tentang pengawasan, pengendalian penggunaan senpi oleh bagian Polri itu yang mesti dibikin keputusan tertentu menjadi syarat tentang pengawasan dan pengendalian penggunaan senpi organik oleh bagian Polri,” ujarnya.
Ia mengatakan, keliru satu syarat penggunakan senjata api adalah sehat secara psikologis, tapi perihal itu tidak cukup.
“Yang mesti dikerjakan adalah bagi pemegang senjata dikerjakan pengecekan rutin psikologis 6 bulan sekali. Jadi tersedia assesment teranyar situasi psikologis bagian polri itu. Kalau sedang mengalami tekanan mental bisa ditarik hingga yang bersangkutan di cek ulang situasi kejiwaannya,” pungkas dia.
DPR Usul Lebih Baik Membawa Pentungan
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman bakal membicarakan usulan mesti tidaknya polisi memengang senjata api ke depan.
“Ini bakal menjadi bahan bagi kita untuk terhadap era sidang besok, kita bakal rapatkan bahan ini bersama dengan instansi berkenaan yaitu kepolisian. Bagaimana mekanisme penggunaan senjata ini oleh bagian polri. Seperti apa evaluasi berkalanya yang berjalan,” kata Habiburokhman usai rapat Komisi III, Selasa (3/12/2024).
Usulan polisi tak mesti ulang mengfungsikan senjata api ini dilontarkan oleh bagian Komisi III berasal dari Fraksi PDIP I Wayan Sudirta sementara rapat bersama dengan Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar beserta jajarannya untuk menghendaki penjelasan masalah polisi tembak siswa SMKN 4 Semarang, GRO (17) hingga berujung kematian terhadap Minggu, (24/11/2023) dini hari.
“Orang terasa mengusik senjata yang dipegang polisi. Apa masih mesti kepolisian pegang senjata. Bisa bapak gambarkan gak di mana kelemahan SOP, sampe senjata bersama dengan mudah yang harusnya memelihara rakyat tapi malah bukannya hanya membunuh rakyat tapi bisa juga membunuh polisi,” kata Wayan di area Rapat Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Wayan menyebut pihaknya membaca kajian bahwa polisi kedepan lebih baik mempunyai pentungan seperti negara maju.
“Ada kajian meskipun bersifat UU, kajian yang tersedia tentang polisi cukup bersifat pentungan seperti negara maju, kelihatannya perlahan tapi tentu kita mengarah ke sana. Beri deskripsi kepada kita kenapa senjata masih mesti dipegang,” kata dia.
Wayan mengingatkan, andaikata ke depan polisi masih bakal tetap memegang pistol, aka tak boleh untuk membunuh rakyat.
“Jika polisi masih boleh memegang senjata, gubakan secara baik. Jangan digunakan untuk hadapi rakyat,” pungkasnya.
Wayan menyebut pihaknya membaca kajian bahwa polisi kedepan lebih baik mempunyai pentungan seperti negara maju.
“Ada kajian meskipun bersifat UU, kajian yang tersedia tentang polisi cukup bersifat pentungan seperti negara maju, kelihatannya perlahan tapi tentu kita mengarah ke sana. Beri deskripsi kepada kita kenapa senjata masih mesti dipegang,” kata dia.
Wayan mengingatkan, andaikata ke depan polisi masih bakal tetap memegang pistol, aka tak boleh untuk membunuh rakyat.
“Jika polisi masih boleh memegang senjata, gubakan secara baik. Jangan digunakan untuk hadapi rakyat,” pungkasnya.