Nadi Peradaban Batavia ke Denyut Jakarta

NationalNews – Dahulu, Sungai Ciliwung adalah nadi kehidupan Batavia. Airnya jadi sumber air bersih, jalur transportasi, dan tulang punggung proses kanal yang membantu kota bentukan kolonial Belanda. Namun, sejalan pas dan laju pembangunan, fungsi ekologis sungai ini perlahan terkikis.
Menurut sejarawan Candrian Attahiyyat, Ciliwung terhadap masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) memegang kegunaan signifikan dalam kehidupan masyarakat Batavia. “Aliran itu kan diolah jadi siap dikonsumsi atau membuat kepentingan rumah tangga dan lain-lain. Itu alirannya diarahkan ke area yang namanya Pancoran-Glodok. Di situ airnya disuling,” tuturnya kepada Liputan6.com.
Air hasil penyulingan berikut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan warga, tetapi terhitung dijual kegunaan memasok kapal-kapal yang bersandar di perairan Batavia. “Terus airnya itu dikelola dan dijual membuat kepentingan kapal, perahu dan lain-lain,” sambung Candrian. Baru terhadap abad ke-19, pas teknologi artesis menjadi dikenal, warga berubah dari Ciliwung ke sumber air bawah tanah.
Letak strategis Batavia yang dekat dengan muara Ciliwung pun jadi alasan utama Belanda mendirikan pusat kekuasaan mereka di wilayah tersebut. Meski kapal besar tidak dapat merapat segera ke pantai sebab Teluk Jakarta yang dangkal, aliran sungai dimanfaatkan sebagai jalur logistik dan bongkar muat lewat perahu kecil.
“Jadi mereka membuat aliran itu terlebih Ciliwung di area Batavia itu membuat transportasi mereka untuk bawa-bawa barang,” ungkapnya.
Tak berhenti di situ, proses kanal pun dibangun dengan suplai utama dari Ciliwung dan Cisadane. Kanal-kanal ini tidak hanya untuk perahu, tetapi terhitung sebagai penyalur air bersih dan pengendali banjir.
Namun, kanal benar-benar tergantung terhadap debit air yang cukup. “Soalnya kan kanal Batavia itu jikalau kering, ya gak cukup debit airnya, itu surut,” katanya.
Dari Air Kehidupan Jadi Biang Kerok Masalah Perkotaan
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial menjadi membangun infrastruktur baru: pintu-pintu air, kanal-kanal sekunder, dan proses pengendalian banjir yang lebih kompleks. Salah satunya kanal barat dari Manggarai yang dibagi ke kiri dan kanan. “Itu diatur dengan pintu air, tahun 1919-lah, sebab telah menjadi ke bawah banjir itu telah menghantui kota ini,” ujar Candrian.
Namun muka Ciliwung berubah drastis. Kanal dan turap kayu peninggalan kolonial berubah beton. Bantaran yang pernah berfaedah sebagai ruang terbuka dan jalur air kini dipadati rumah-rumah, banyak berdiri tanpa izin. Fungsi ekologis pun tergantikan oleh kepentingan ruang kota.
“Tanggul yang digunakan selama dari menjadi Ciliwung, yang dari Istiqlal sampai ke Kota Tua, itu arti turap itu bukan dari beton, tetapi dari kayu. Sampai saat ini nampak kayu-kayu itu masih nancap di area lebih kurang Gajah Mada–Hayam Wuruk,” ungkapnya.
Perubahan semakin kentara sejak masa Orde Baru. Modernisasi yang agresif melewatkan interaksi masyarakat dengan sungai. Dulu, sungai dipandang sebagai makhluk hidup, dan ada cara-cara tradisional untuk memelihara keharmonisannya. Misalnya, masyarakat kerap melempar potongan daging ke sungai sebagai bentuk sesajen.
“Orang lama menjunjung peradaban sungai,” kata Candrian.
Kini, air dari Ciliwung segera digelontorkan ke laut, tanpa ada proses pemanfaatan lanjutan, tanpa area resapan untuk cadangan air kota. Sisi kiri-kanannya dipenuhi bangunan, lebih dari satu liar, lebih dari satu kembali dilindungi kekuasaan.
“Sekarang ini kan air Ciliwung segera digelontorkan ke laut. Padahal air itu kan masih dapat dimanfaatkan. Dulu kiri-kanannya itu masih dimanfaatkan membuat kebun dan lain-lain. Tapi saat ini telah jadi bangunan-bangunan tinggi. Jadi fungsinya saat ini ya jadi area pembuangan kotoran,” jelasnya.
Infrastruktur Saja Tidak Cukup
Menurut Candrian, tantangan terbesar untuk membangkitkan kembali fungsi Ciliwung bukan semata terhadap segi teknis. Yang lebih mendasar adalah kasus budaya dan prilaku masyarakat. Sungai yang pernah dijaga dan dihormati, kini dijadikan area pembuangan sampah, limbah, dan sisa bangunan.
“Perilaku masyarakat yang lebih dari satu besar masih menganggap sungai itu area menyingkirkan kotoran,” keluhnya. Ia menekankan pentingnya menyusuri sungai dari hulu sampai hilir untuk mengembalikan perannya sebagai anggota mutlak dari proses ekologis perkotaan.
“Bagaimana kami menjunjung aliran air itu sebagai aliran yang harus mengalir dan dimanfaatkan,” tambahnya.
Candrian menyebut, kesadaran untuk melepaskan bantaran dari permukiman, menjadikan sungai sebagai ruang publik, atau mengembalikan keseimbangan ekologis masih jauh dari harapan. Upaya pemerintah lewat program normalisasi atau naturalisasi pun belum dapat menghasilkan hasil jikalau tanpa pemberian kolektif.
“Satu adalah memelihara aliran itu tetap mengalir dan harus bertindak jikalau ada warga atau pihak khusus yang menyumbat bantaran kali berikut dengan pembangunan baru, dengan alasan apapun,” tegasnya.
Di tengah sejarah panjangnya, Ciliwung kini memasuki bab baru. Sejak awal 2025, pemerintah dengan komunitas dan relawan bergerak menanggapi situasi sungai yang terancam. Normalisasi Ciliwung selama 33,7 km tengah dikebut dengan obyek selesai terhadap 2026, kegunaan mengurangi risiko banjir sampai 40 persen.
Tantangan Kembalikan Nadi Batavia
Gubernur DKI Pramono Anung meyakinkan proses pembebasan lahan berjalan tanpa penggusuran, menekankan pendekatan humanis lewat konsultasi publik—khususnya di kawasan Cawang, Pengadegan, dan Cililitan. Konsultasi ini telah menjangkau ratusan keluarga demi mempersiapkan skema relokasi dan kompensasi .
Lalu, bagaimana progres pembangunan sampai pas ini? Hingga pertengahan 2025 ini, baru lebih kurang 17,1 km dari konsep 33,7 km yang dituntaskan. Sisanya tunggu penyelesaian pembebasan lahan, lebih kurang 16,5 km di kawasan padat penduduk. Anggaran tambahan sebesar Rp182,7 miliar disiapkan Dinas SDA DKI untuk percepatan ini .
Namun, tantangan sosial tetap kuat, keberatan warga terhadap skema relokasi dan legalitas lahan masih jadi halangan utama.
Selepas sejarah panjang, kini nampak impuls baru dari masyarakat dan relawan. Puluhan komunitas “bersih sungai” menyelenggarakan aksi tanam mangrove di bantaran, sekaligus merawasi pembongkaran bangunan ilegal. Aktivitas ini tak hanya memulihkan ekosistem, tetapi terhitung membangkitkan kembali penghormatan terhadap sungai—yang pernah dipandang sebagai makhluk hidup.
Selain normalisasi, pemerintah pusat dan area membangun sejumlah infrastruktur penunjang: dua dry-dam di Sukamahi dan Ciawi, serta sodetan dan terowongan selama 1,2 km yang terintegrasi dengan proses utilitas untuk penanggulangan banjir.